Kepariwisataan Kota – Lanjutan


Historical Heritage of RomeMenyambung artikel terdahulu , mari kita mengenali lebih jauh tentang karakteristik Kepariwisataan Kota (urban tourism) pada umumnya dan khsusnya di Indonesia.

Wisata Olahraga

Seringkali peristiwa olah raga diselenggarakan di suatu kota, bahkan tidak jarang terpaksa diselenggarakan di beberapa kota yang berbeda secara simultan seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) maupun tingkat internasional seperti Olimpiade, World Cup, Asian Games, ASEAN Games, turnamen golf, tennis, badminton dan sejenisnya. Penyelenggaraan peristiwa olahraga ini tidak saja mendatangkan para pemain yang ikut bertanding melainkan juga para penonton dan para supporter fanatik. Selain itu, keluarga pun acapkali ‘mendampingi’ para pemain, seperti isteri, ibu, bapak, bahkan yang belum berkeluarga pun tidak mustahil membawa pacarnya.
Nah dengan demikian terciptalah peluang pengembangan kepariwisataan lebih luas daripada sekedar wisata budaya dan wisata bisnis semata.
Wisata olahraga tidak hanya menyangkut prestasi, tapi juga dalam hal memenuhi kebutuhan rekreasi dan pendekatan pada lingkungan (sosial-budaya, alam, pedesaan dan perkotaan), seperti halnya dengan Jakarta Marathon, Tokyo Marathon, Tour de Singkarak, Sail Tomini yang hakekatnya tidak bertujuan mengejar prestasi.
Di negara yang beriklim empat musim, kepariwisataan olahraga tergantung dari musimnya, dan pada umumnya terbagi menjadi olahrga musim panas dan musim dingin. Beruntung bagi negara yang berada di kawasan tropik, kegiatan olah raga pada umumnya dapat dilakukan di luar ruang dan relatif tanpa batasan musim. Kepariwisataan olahraga yang dapat ditawarkan antara lain adalah:

  • Wisata olahraga musim panas (summer sport), misalnya berjalan di alam terbuka (hiking), mendaki gunung dan/atau tebing (climbing), berkuda (horseback riding), memancing (fishing), arung jeram (rafting), bersepeda gunung (mountain biking), paragliding, berselancar (surfing) dan olahraga air lainnya, dll.
  • Wisata olahraga musim dingin (winter sport), antara lain ski dan snowboarding, memancing di padang es (ice fishing), dll. Wisata jenis ini hampir tidak dikenal di negara tropik pada umumnya, khususnya di Indonesia.

Andalan Wisata perkotaan

Bagi perkembangan kepariwisataan kota seperti Jakarta, ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai andalan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, – baik wisnus maupun wisman.
Faktor andalan ini bisa jadi merupakan ‘kekuatan’ (strength) bagi kota yang bersangkutan dalam upaya menarik perhatian dan minat para calon pengunjung antara lain adalah:

  1. Posisi geografis yang dinilai strategis dalam kaitannya dengan daya jangkau wisatawan untuk mencapainya. Seperti Jakarta, yang dihubungkan dengan berbagai media transportasi, – baik dari kota-kota di Jawa maupun dari luar Jawa. Jakarta terhubung dengan transportasi udara dari semua ibukota propinsi di tanah air, juga dengan beberapa pulau di luar Jawa terhubung dengan kapal laut. Sementara dengan transportasi darat, Jakarta mudah dijangkau dari segala penjuru di pulau Jawa, bahkan dari Bali dan Lombok serta dengan kota-kota di Sumatera. Dari Luar Negeri Jakarta dihubungkan dengan berbagai kota dunia melalui udara.
  2. Kepariwisataan kota agaknya akan lebih semarak jika banyak di antara gedung-gedungnya menampilkan gaya yang khas, seperti yang dijumpai di kota-kota di Sumatera Barat misalnya. Demikian juga jika terdapat gedung yang bergaya lama, – ratusan tahun bahkan sampai berabad-abad silam, seperti yang terdapat di kota-kota di Eropa.
    Beberapa dasawarsa terakhir ini, kota-kota di dunia banyak yang berupaya untuk mempertahankan bangunan lama, seperti bangunan bersejarah, kantor pemerintahan, mesjid, gereja, – bahkan monumen pun diperbaiki dan direnovasi demi keindahan kota agar menarik bukan saja bagi para penghuninya melainkan juga agar para pengunjung merasa ‘betah’ dan berhasrat tinggal lebih lama, lebih penting lagi adalah … agar datang kembali. Namun disayangkan, dalam hubungan ini, tidak semua pemerintah kota maupun swasta yang mampu menyisihkan dana untuk investasi disebabkan karena penilaian komersial yang lambat atau tidak memberikan prospek ‘pendapatan’ yang dapat mengembalikan investasinya.
  3. Tidak diragukan lagi pentingnya mempertahankan situs bersejarah dalam kota (jika ada) agar kota tersebut mendapat banyak perhatian dari para calon pengunjung, seperti halnya dengan kota Roma yang penuh dengan situs bersejarah sehingga menarik bagi para pengunjungnya bahkan untuk berlama-lama tinggal di kota tersebut.
  4. Tidak kurang pentingnya adalah ‘kecanggihan’ fasilitasnya yang disediakan oleh kota yang bersangkutan, mulai dari sistem dan kenyamanan transportasi kota (seperti misalnya Singapura, Tokyo dll), penyajian taman-taman kota, kebersihan, keselamatan pribadi beserta barang bawaannya, pengamanan dan keamanan lingkungan, kenyamanan serta variasi pilihan fasilitas menginap, fasilitas rekreasi/hiburan, obyek yang menarik dan nyaman dikunjungi mudah dicapai, serta atraksi wisata yang memesona dan banyak pilihannya, serta fasilitas berbelanja yang menawarkan ‘kualitas’ dgn ‘harga memadai dan pasti’ (reasonable), walaupun tidak kurang banyaknya wisman yang suka dengan negosiasi (tawar menawar), namun kebanyakan menginginkan harga yang pasti.
  5. Tentu saja hal yang satu ini adalah penting di atas yang penting yaitu fasilitas untuk ‘memanjakan perut’. Dengan berkunjung ke negara asing, kita terdorong untuk ‘mencoba’ masakan lokal (local cuisine) di antara masakan khas negara mereka yang pada hakekatnya perlu pula disediakan di ‘kota pariwisata’ agar bisa diterima oleh masyarakat internasional.

Kelemahan Kepariwisataan Kota

Kepariwisataan kota bukan tidak memiliki kelemahan yang akhirnya menyebabkan kota itu tidak menarik untuk dikunjungi. Ada beberapa hal yang pada umumnya yang membuat kota itu tidak menarik untuk berwisata di antaranya adalah:

  1. Kurangnya atau bahkan ketiadaan atraksi alam.
  2. Kurangnya atau ketiadaan proyek yang mampu ‘meningkatkan citra’ (image promotion) kepariwisataan kota tersebut.
  3. Masa Liburan yang pendek juga mempengaruhi hasrat berkunjung ke suatu kota tertentu.
  4. Buruknya hubungan pelayanan antar sektor, terutama sektor jasa yang berkaitan dengan perjalanan, misalnya tercermin pada infrastruktur yang tidak terpelihara.
  5. Buruknya manajemen sampah dan kebersihan seringkali dinilai sebagai hal utama, bukan saja dalam kaitan dengan kepariwisataan, melainkan juga dengan kualitas kehidupan kota pada umumnya, misalnya sampah yang bertumpuk atau berserakan di tempat-tempat terbuka untuk umum.
  6. Pelayanan yang ditawarkan kurang bervariasi, antara lain ketiadaan gedung pertunjukan (theater), gedung opera atau konser.
  7. Terkait pula dengan pembangunan kawasan hunian yang tidak mencerminkan ciri sosial-budaya setempat.
  8. Kepariwisataan kota lazimnya identik dengan biaya hidup dan berwisata yang relatif tinggi di banding dengan wisata pedesaan (rural tourism).
  9. Standar kualitas pelayanan merupakan kelemahan kepariwisataan pada umumnya, tidak terkecuali dengan wisata perkotaan.

Peluang Meningkatkan Kepariwisataan Kota

Tidak menariknya wisata perkotaan bukan tidak mustahil diatasi. Pada umumnya kota yang tidak menarik untuk dikunjungi dapat ditingkatkan citranya melalui berbagai upaya, seperti misalnya:

  1. Menciptakan Festival-festival Internasional secara teratur dan terencana dan dipromosikan jauh sebelum waktu liburan bagi negara-negara asal wisatawan dengan partisipasi negara-negara lain.
  2. Menciptakan program-program wisata baru, seperti Wisata Medis (medical tourism) – wisata pengobatan, Wisata Kesehatan (health tourism) – yakni wisata pemeliharaan kesehatan. Di Jakarta, barangkali berpeluang untuk menciptakan ‘Wisata Kecantikan’ (beauty tourism) yaitu wisata dengan motivasi ‘pemeliharaan kecantikan’, baik untuk pemeliharaan saat itu ataupun ‘mempelajari’ cara-cara pemeliharaan tradisional ala Indonesia untuk diterapkan sendiri, – baik untuk pribadi maupun sebagai bidang usaha, di negaranya. Sebagai contoh Singapura, China dan Jepang banyak direkomendasikan untuk berobat bagi orang yang mengalami masalah kesehatan. Sementara Austria, Swiss dan Jerman banyak memiliki berbagai tempat yang menyelenggarakan wisata kesehatan (mandi lumpur, spa, pemandian air panas dsb.) di berbagai kota kecil dengan sebutan Kurhaus (cure house), Kurort (cure place/site), atau Kurpark (cure park) sejak lebih dari setengah abad yl.
  3. Menciptakan pelayanan informasi yang cepat, akurat, mutakhir dan ramah sepanjang hari, 7-hari seminggu.
  4. Menciptakan program-program city-tour yang menarik dan beragam, dengan jadual yang teratur.

Tentu saja, dalam hal penyelenggaraan kegiatan-kegiatan di atas, pemerintah (daerah) selaku fasilitator dan inisiator, perlu ‘merangkul’ pihak swasta dan masyarakat (asosiasi usaha wisata dan usaha lainnya, sanggar budaya, himpunan mahasiswa, dsb).

Kebutuhan Penyesuaian Pada Perubahan

Akhirnya, Pemerintah kota sangat perlu mengikuti perkembangan, baik pada tingkat regional maupun global. Misalnya, perubahan yang sewaktu-waktu terjadi sehingga mengakibatkan berubahnya sikap (attitude) dan tingkah laku (behavior) para konsumen (wisatawan) terhadap pemilihan tujuan wisata mereka. Adapun faktor yang menyebabkan perubahan sikap dan tingkah laku wisatawan bisa datang dari luar (external), seperti perubahan iklim global (global climate change), ekonomi / politik / keamanan dunia maupun dari dalam negeri (internal, negara kita serta negara asal wisatawan sendiri), misalnya perubahan kebijakan pemerintah, baik dalam kaitannya langsung dengan kepariwisataan maupun tidak langsung. Pengamatan akan perubahan ini dinilai sebagai faktor yang sangat menentukan bagi pesat / lambatnya pertumbuhan kepariwisataan pada umumnya maupun kepariwisataan kota. Semakin cepat antisipasi atas suatu perubahan, semakin baik untuk pengambilan keputusan penyesuaian diri pada kecenderungan pasar.
Kepariwisataan kota yang ‘statis‘, cepat atau lambat akan segera ditinggalkan oleh para wisatawan.