Memahami Pasar Pariwisata Dunia


Pada kesempatan yang lalu, kami sajikan informasi mengenai “Pasar Pariwisata di Masa Datang” yang ditengarai sedang mengalami perubahan dalam kaitannya dengan fenomena digitalisasi. Kemudian timbul berbagai pertanyaan dalam benak kita, “Apa langkah-langkah yang harus kita ambil dalam menghadapi perubahan itu”. Untuk itu agaknya kita perlu terlebih dahulu menelaah pasar pariwisata dunia selama ini.
Perlu kiranya kita fahami bahwa arus wisatawan yang datang ke suatu negara sangat tergantung pada berbagai faktor, paling sedikit kita perlu memperhitungkan kekuatan penduduk negara asal wisatawan itu, antara lain jumlahnya, daya belinya, – yang terkait dengan tingkat penghasilannya (disposible income), kesediaan waktu luang (leisure time, – seperti cuti, hari libur). Dan …, tingkat penghasilannya itu pun akan menentukan berapa kali tiap penduduk melakukan perjalanan dalam setahunnya (travel intensity) dan berapa banyak mereka “sanggup” membelanjakan uangnya untuk berlibur. Belum lagi berbagai kondisi seperti ekonomi, keamanan, wabah penyakit, bencana alam dsb., baik di negaranya maupun di negara tujuan perjalanannya.

World’s 15-Top Spender in Tourism

Pada bulan Maret 2019 yang lalu, farandwide.com mempublikasikan hasil pengamatannya, – bersumber dari World Tourism Barometer yang diterbitkan oleh WTO (World Tourism Organization) tentang penduduk 15 negara yang terbanyak membelanjakan uangnya untuk perjalanan wisata di tahun 2017. (Lihat diagram).
Dalam kebijakan pengembangan kepariwisataan Indonesia dewasa ini, mengindikasikan bahwa pemerintah berkeinginan untuk meraih bukan saja wisatawan menengah ke bawah, melainkan juga wisatawan yang berkualitas dari kelompok menengah ke atas. Dalam hubungan ini timbullah pertanyaan, pasar pariwisata yang mana yang harus kita bidik?
Dengan adanya upaya pemerintah ini, Wuryastuti Sunario, – salah satu anggota dan mantan ketua Care Tourism, mempertanyakan yang mana terlebih dahulu harus kita garap, Meraih Wisatawan Berkualitas  (di sisi permintaan), atau Menyediakan Destinasi Berkualitas (dari sisi supply)? Atau haruskah bersamaan, jika demikian halnya “Dapatkah kedua jenis wisman tersebut disatukan dalam satu destinasi yang sama?”. Bagaimana pelaksanaannya? Nah, Mari kita pelajari artikelnya.

 

Continue reading

Seperti Apa Pasar Pariwisata Di Masa Datang


Jika Anda bergumul dalam bidang kepariwisataan, saya kira masalah kecenderungan pasar pariwisata merupakan hal yang patut menjadi perhatian terutama yang menyangkut asal negara kebangsaan, perilaku, selera, masa senggang, daya beli, intensitas perjalanan, dsb. yang sedikit banyak akan mempengaruhi persiapan produk wisata di destinasi dalam penerimaan mereka selaku tamu kita.
Di sisi lain, – sebagaimana kita ketahui, Indonesia sedang berupaya berbenah diri untuk menjadikan pariwisata sebagai “primadona” dalam tatanan ekonomi nasional sejak tahun 2014 yang lalu di mana Indonesia pada tahun 2019 ini berhasil mencapai kedudukan daya saing pariwisatanya ke peringkat 40 dari posisi 42 di tahun 2017. Dan, mengingat karakteristik produk pariwisata yang “terikat pada tempat”, maka salah satu upaya memperkenalkannya dengan cara yang dikenal sebagai Familiarizatin Trip, yaitu dengan mendatangkan Tour Operator / Travel Agent, para journalis wisata utk mengalami dan merasakan sendiri pelayanan serta fasilitas yang kita tawarkan di destinasi wisata kita.
Dalam kaitan ini, di bawah ini kami sajikan kecenderungan pasar pariwisata dunia di tahun-tahun mendatang dalam artikel yang ditulis oleh mantan ketua Care Tourism, Wuryastuti Sunario, dengan judul seperti berikut ini.

 

 

 

Continue reading

Apakah Gerangan Storynomics Tourism


Sebelum kita membahas tentang Storynomics, perkenankan saya bercerita tentang pengalaman pribadi ketika saya masih mahasiswa di Bandung dan merangkap sebagai Tourist Guide, – dalam rangka mendapatkan nilai kredit dalam perkuliahan yang saya tempuh (1963-1966) -, dan selepas masa kuliah antara 1966-1969.

Bagi kepariwisataan Bandung dan sekitarnya, Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu Obyek Kunjungan utama yang tidak pernah terlewatkan.
Pada saat guiding wisatawan mancanegara, sebelum melakukan kunjungan ke Tangkuban Perahu, saya selalu mengawali tugas saya dengan kisah tentang “Mengapa Gunung ini dinamakan Tangkuban Perahu”, di samping penjelasan bahwa gunung ini bisa dikunjungi hingga ke bibir kawahnya walaupun gunung ini termasuk masih aktif.

Dikisahkanlah bahwa dulunya Bandung merupakan dataran yang dikelilingi oleh gunung-gunung dan dipenuhi dengan air sehingga merupakan sebuah danau. Alkisah, ada kejadian seorang ibu yang mendapat lamaran dari seorang pemuda (Sangkuriang), dan ditolak, karena kemudian diketahui oleh sang ibu bahwa pemuda tersebut adalah anak kandungnya, namun sang pemuda tidak percaya. Maka sang ibu memberi syarat bahwa lamarannya akan diterima jika sang pemuda barhasil membuatkannya sebuah perahu dalam satu malam, – dari saat matahari terbenam hingga saat ayam mulai berkokok tanda matahari akan terbit -. Pendek cerita, sang pemuda tidak berhasil menyelesaikan perahu tersebut dalam waktu yang ditentukan. Sang pemuda menjadi kesal dan marah dan melampiaskan kemarahannya dengan menendang perahu yang hampir selesai sehingga tertelungkup (Tangkuban Perahu berarti Perahu yang Tertelungkup, bhs Sunda). Continue reading

Nilai-nilai Calendar Of Events


Sebuah agenda peristiwa wisata, – yang di kalangan kepariwisataan dikenal sebagai Calendar Of Events (CoE) -, seyogyanya akan mampu menjadi “pemicu” pertumbuhan kepariwisataan di suatu daerah atau destinasi, mengingat CoE merupakan salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk:
a. Datang ke tempat tsb.;
b. Memperpanjang masa tinggal di tempat tsb, sehingga pd gilirannya
c. Memperbanyak pengeluaran (belanjanya) di tempat tsb., baik utk makan, minum, penginapan, transportasi dsb.

Event Communications Value

Menjelang tahun 2020 ini, agaknya kita sudah harus memikirkan untuk meluncurkan sebuah agenda peristiwa wisata, – Calendar Of Events (CoE). Agenda ini sejatinya sudah beredar di pasar pariwisata dunia paling lambat 6 bln sebelum tahun berganti.
Calendar of Events (CoE / Kalender Acara) merupakan andalan bagi keberhasilan penyelenggaraan pariwisata di suatu Daerah, – Provinsi, Tujuan/Destinasi Wisata (Tourist Destination). Calendar of Events lazimnya berbentuk Agenda (bergambaar, dalam tatawarna), berisi “Daftar Rangkaian Peristiwa” yang sengaja diselenggarakan atau yang secara alamiah terselenggara sebagai suatu bagian dari kehidupan dan / atau kebiasaan masyarakat setempat secara berkala (mingguan, bulanan, tahunan) yang dikemas sedemikian rupa sehingga menarik pengunjung, baik lokal, regional maupun global. Events yang dirancang untuk memikat pengunjung ini, – baik domestik maupun mencanegara -, lazimnya disebut sebagai “Tourism Events” atau “Agenda Pariwisata”. Continue reading

Membangun Pariwisata Ramah Lingkungan (Sustainable Tourism)


Berbicara tentang kepariwisataan, agaknya kita tidak dapat dilepaskan dari masalah kelestarian lingkungan (environmental sustainability), baik lingkungan alam, lingkungan sosial budaya maupun lingkungan ekonomi masyarakat sekitarnyanya (ekonomi sosial).
Dan, berbicara soal kelestarian lingkungan, khususnya lingkungan alam, kita akan diingatkan pada pelestarian margasatwa beserta lingkungan alamnya (seperti Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Ujung Kulon dll.).
Sejak lama kita mengenal adanya “kawasan perlindungan margasatwa”, “kawasan perlindungan alam” dan “kawasan perlindungan budaya” yang disebut juga “Suaka Margasatwa”, “Suaka Alam” serta “Suaka Budaya”.
Dalam hubungan dengan pembangunan kepariwisataan, mengapa “kelestarian” (sutainabality) menjadi sangan penting?
Karena, pengembangan kepariwisataan di suatu tempat bertumpu pada “Alam, Budaya dan Ekonomi masyarakat” tempat yang bersangkutan, sebagai “Modal Utama”-nya.
Continue reading

Bagaimana Menjadi Travel Agents Digital Handal – Bagian 2


Sebelum menyambung pembahasan artikel Wuryastuti Sunario, Bagian-I, yang berjudul “Perlukah Travel Agents Go Digital?”, kita tengok dulu ke belakang apa yang pernah dikatakan Menteri Pariwisata (Menpar) tentang digitalisasi Travel Agent.

Digitalisasi di bidang 3T

Suatu ketika pada kesempatan Rakernas-II ASITA, 10-12 November 2017, Menpar mengingatkan Travel Agent agar beralih ke Digital Tourism. Di bawah ini beberapa pernyataan beliau:

  • … pariwisata digital adalah satu keniscayaan yang harus diikuti oleh agen perjalanan pariwisata agar tidak kalah bersaing.
  • … Di tengah begitu banyak gangguan di banyak industri, Menpar Arief Yahya menyebut digitalisasi di bidang 3T, yakni Telecommunication, Transportation, serta yang sedang dan akan terjadi, di Tourism.
  • … Revolusi teknologi digital ini tidak bisa dihindari, pasti terjadi! Pasti! Secara alamiah akan mengubah dunia, menciptakan model bisnis baru, jadi pelaku industri yang tidak mau berubah dengan platform digital, pasti akan ditinggalkan customer
  • … Travel agent konvensional akan sulit bersaing dengan online travel Agent seperti Traveloka, Booking.com, TripAdvisor, Ctrip, dan lainnya.

Perlukah Travel Agents Go Digital?
Oleh
Wuryastuti Sunario

Bagian II.

Menurut Travel Trends 2019: wisatawan Now mencari Experience (pengalaman) yang unik. Mereka tidak lagi puas dengan ber-sight-seeing saja apalagi disuguhkan paket wisata “kodian”. Mereka ingin mengalami kehidupan setempat yang unik, yang berbeda dengan yang biasa dialami dalam keseharian di negaranya sendiri.
Jadi bagaimana cara Travel Agent lokal bisa mentransformasi diri menjadi Travel Agent Digital dan Online Travel Agent (OTA), yang handal? Continue reading

Pemasaran Pariwisata Offline atau Online (Lanjutan)


Artikel ini merupakan kelanjutan daripada artikel terdahulu berjudul “Pemasaran Pariwisata Offline atau Online”, sebagaimana dijanjikan di akhir tulisan tersebut. Di dalamnya mengutarakan antara lain pernyataan seorang ahli Pemasaran Indonesia, Hermawan Kartajaya yang menulis dalam bukunya berjudul “Citizen 4.0” bahwa di era digital ini, dan dalam rangka Pemasaran, kita dihadapkan pada 3 realita Paradoxal (seakan berlawanan tetapi menyatu), yaitu :

  1. Online vs Offline,
  2. Style with Substance, dan
  3. Machine and Human.

Di bawah ini, diuraikan lebih lanjut mengenai Paradoxal yang ke-2 dan ke-3 dalam kaitannya dengan tulisan Wuryastuti Sunario yang berjudul “Memadukan Pemasaran Tradisional dengan Digital Tourism Marketing” sebagaimana berikut ini.

Memadukan Pemasaran Tradisional dengan Digital Tourism Marketing
Oleh
Wuryastuti Sunario

(Lanjutan)

Paradox 2: Substance vs Packaging

Waktu kita menyajikan produk dan jasa maka diperlukan tulisan dan penjelasan yang mampu memukau pembaca dan memberi keterangan yang diperlukan (yang disebut substance, atau “berisi”). Tetapi informasi tersebut masih perlu juga dibungkus secara menarik, dilengkapi dengan foto dan video yang diambil secara profesional dan yang langsung mempesona pembaca sehingga ia akan langsung tertarik untuk membeli tour atau jasa lain yang kita sajikan.
Continue reading

Bagaimana Menjadi Travel Agents Digital Handal – Bagian-1


Sekitar dua dekade yang lalu bisnis online mulai ramai dilakukan para pengusaha, khususnya pengusaha muda yang mencari alternatif usaha baru dengan berbagai alasan dan motivasi. Dewasa ini sudah menjadi lazim berbisnis secara online di bidang kepariwisataan. Apakah itu dalam bidang perhotelan, khususnya pemesanan kamar, pemesanan ticket pesawat maupun pemesanan tour secara utuh dalam bentuk paket, yang secara populer disebut sebagai Agen Perjalanan Online, – Online Travel Agent (OTA). Namun demikian, sampai sejauh manakah Anda bisa meraih keberhasilan dalam usaha OTA Anda, sangatlah bergantung pada seberapa jauh Anda memenuhi kriteria beberapa persyaratannya sebagaimana usaha lainnya juga secara konvensional (offline) sekalipun.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa dalam usaha OTA terdapat beberapa perbedaan dengan usaha Travel Agent Offline, meskipun pada hakekatnya lebih banyak kesamaannya.

Di lihat dari pangsa pasarnya Travel Agent dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Offline Travel Agent, yang meliputi:
    a. Local Travel Agent, di mana travel agent jenis ini pada dasarnya berlokasi di daerah atau negara yang sama dengan tempat tinggal konsumen (wisatawan).
    b. Overseas Travel Agent, yaitu travel agent yang berlokasi di wilayah yang terpisah oleh lautan, negara bahkan benua dari tempat tinggal konsumen (wisatawan).
  2. Online Travel Agent (OTA), adalah salah satu jenis travel agen yang seluruh kegiatan transaksinya dilakukan secara online (blog.citos.id).

Sementara itu, kita mengenal pula adanya Travel Agents yang beroperasi dengan cara kedua-duanya, baik Offline maupun Online, yang kemudian kita sebut sebagai Travel Agents Digital, mungkin lebih tepat disebut Digitalized Travel Agents.

Untuk mengetahui seluk beluknya lebih jauh, di bawah ini disajikan sebuah artikel berjudul “Perlukah Travel Agents Go Digital?”, yang ditulis oleh Wuryastuti Sunario, salah seorang anggota dan mantan ketua Care Tourism, seperti berikut.

Perlukah Travel Agents Go Digital?
Oleh
Wuryastuti Sunario

Bagian I.

Kalau saat ini masih ada Travel Agent yang masih saja mempertanyakan apakah perlu perusahaannya beralih ke Digital, maka siap-siaplah tutup usaha Anda, karena seluruh dunia termasuk masyarakat Indonesia sendiri, dari presiden sampai ke tukang sayur sudah beralih ke digital sampai-sampai kita sekarang sudah tidak mampu lagi melepaskan tilpun genggam, apalagi waktu berwisata.

Sebuah artikel dalam blog RubyGarage yang berjudul “Digital Trends in the Travel Industry 2019” mengutarakan, bahwa 82% lebih orang dewasa di Amerika Serikat memesan hotel dan penerbangan secara online, tanpa perantara travel agency. Juga ditemukan bahwa biarpun sebagian besar calon wisatawan masih mencari informasi dan booking lewat desktop atau laptop, tetapi dipastikan bahwa selama perjalanan wisata, wisatawan menggunakan smartphone yang sekarang sudah makin canggih dan instant, tidak saja dalam pengiriman dan menerima data, images dan konektivitas, tetapi juga dalam hal memesan sampai membayar tiket pesawat dan hotel, bahkan sampai ke check-in pesawat.

Ditemukan juga bahwa di Australia jumlah pemesan online sudah mencapai 44% dari jumlah wisatawan, di Jepang 59%, Korea Selatan 53%, Jerman 27%, UK 45%, Perancis 44%, bahkan di India sebanyak 87%. Jadi, jelaslah bahwa sekarang, dipacu kemajuan dan kemudahan internet, mayoritas wisatawan sudah fasih menyusun perjalanannya sendiri, membayar tiket pesawat dan hotel online, tanpa memerlukan jasa travel agents lagi, semua dibuat DIY – Do It Yourself.
Jadi tidak lagi tersisa pilihan bagi travel agent yang ingin maju selain langsung beralih ke Digital. Hal mana bukan berarti perusahaan Anda perlu menjadi OTA. Continue reading

Pemasaran Pariwisata Offline atau Online


Dalam era digitalisasi sekarang ini kita dihadapkan pada suasana yang berubah dalam sehari-hari. Kalangan usaha pun, termasuk usaha pariwisata, – khususnya dalam upaya pemasaran, dihadapkan pada pilihan. Di satu sisi upaya yang tradisional secara offline, di sisi lain upaya kontemporer dengan mendayagunakan teknologi digital.
Penggunaan teknologi digital diawali dengan Computerized Reservation System (CRS) oleh kalangan penerbangan sipil pada awal tahun 1970-an. Kemudian diikuti oleh kalangan perotelan dan akhirnya Tour Operator dan Travel Agent pun tidak luput harus menerapkan sistem reservasi secara digital. Bahkan, di akhir dasawarsa 70-an itu juga, tumbuh secara meluas sistem informasi yang dilakukan oleh negara-negara destinasi utama dunia.
Untuk mencari tahu apa dan bagaimana kita, – terutama para Tour Operator dan Travel Agent, harus menyikapinya, di bawah ini kami tampilkan satu artikel yang ditulis oleh Wuryastuti Sunario, salah seorang anggota dan mantan ketua Care Tourism.

Memadukan Pemasaran Tradisional dengan Digital Tourism Marketing
Oleh
Wuryastuti Sunario

Banyak di antara kawan-kawan industri pariwisata, termasuk travel agents dan hotel-hotel kecil-menengah yang sejak awal turut membangun pariwisata Indonesia, sekarang mulai bertanya-tanya: bagaimana kita harus mendadak beralih dari marketing tradisional yang sudah terbukti membuahkan hasil, sedang kini kita harus langsung melompat ke digital marketing yang belum pasti dapat memberi hasil bagi usaha kita?
Ahli Pemasaran Indonesia, Hermawan Kartajaya dalam bukunya berjudul, Citizen 4.0 menyatakan bahwa di era digital ini, dan dalam rangka Pemasaran, kita dihadapkan pada 3 realita Paradoxal (seakan berlawanan tetapi menyatu), yaitu :

    1. Online vs Offline,
    2. Style with Substance, dan
    3. Machine and Human.

Demikian juga Philip Kotler, ahli Pemasaran dunia, mengatakan dalam bukunya Marketing 4.0 bahwa semakin canggih teknologi, maka konsumen semakin cenderung mencari yang memanusiakan manusia, yang dekat di hati dan perasaan.
Oleh karenanya, untuk memasarkan produk ataupun destinasi, maka industri pariwisata termasuk travel agents, ternyata tidak perlu langsung meninggalkan segala yang sudah diketahui dan dialami dalam melaksanakan pemasaran tradisional supaya bisa langsung terjun ke pemasaran digital, akan tetapi para ahli justru menganjurkan agar sebaiknya industri menyatukan pemasaran tradisional yang lebih menggunakan human communication dengan pemasaran digital yang menggunakan komunikasi teknologi, demi untuk mencapai hasil optimal.

Paradox 1 : Online vs Offline

Pemasaran Offline atau traditional marketing yang dikenal pemasaran dan promosi melalui penyebaran brosur, pemasangan iklan di televisi, koran atau di majalah cetak, billboards dan langsung menemui konsumen. Sedangkan yang Online adalah promosi dan penjualan lewat internet, website, blog, sosmed termasuk Facebook, Twitter, Youtube, Instagram dll.

Di zaman digital sekarang ini, memang penggunaan smartphone sudah demikian meluas, sampai- sampai bukan saja generasi milenial saja yang fasih memakai segala macam aplikasi, tapi juga generasi X dan Baby Boomers sebelumnya, apalagi generasi Z dibawah umur 20 tahun juga sudaha terbiasa. Keadaan ini meluas di seluruh dunia, sehingga kalau kita ingin mencapai pembaca dan langganan yang terluas dengan biaya termurah, maka memang internet-lah solusinya. Hanya saja, belum pasti orang yang membaca tulisan atau iklan kita ini adalah konsumen / pembeli yang ingin kita capai. Jadi benar bila kita menginginkan volume, maka Online marketing merupakan solusi terbaik. Akan tetapi untuk berhasil Online pun produsen dan penyaji jasa ternyata masih harus membarengi marketing Online dengan Offline marketing, yaitu mereka masih harus tetap menyediakan brosur, memasang iklan di tv dan koran atau majalah, dan perlu bertatap muka dengan buyers di travel mart dan pameran internasional dll. Continue reading

Let’s Go To Business


Ini merupakan “tagline” atau “motto” ASITA (Association of Indonesia Travel Agents) yg diluncurkannya pada kesempatan terpilihnya pengurus baru dengan ketua Dr. N. Rusmiati, MSi., di Jakarta baru-baru ini. Dalam sambutannya pada kesempatan tersebut, Dr. Rusmiati ini menuturkan bahwa sudah saatnya kini ASITA memfokuskan diri pada upaya meraih arus inbound lebih intensif untuk mendukung upaya pemerintah mencapai target 2019 dan selanjutnya, dengan tekad “Let’s Go To Business”.

Bagi saya, ini merupakan isyarat kepada segenap jajaran “Industri Pariwisata” Indonesia untuk “memulai” upaya yg lebih fokus dan intensif pada business untuk meraih target-target yg ditetapkan pemerintah c.q. Kementerian Pariwisata.
Mengapa saya katakan “memulai fokus”? Memangnya selama ini tidak fokus?
Untuk menjawabnya perlu agaknya kita menjenguk ke belakang.
Visitor Arrivals 2011-2018Pada awal pemerintahan Jokowi -JK, Kementerian Pariwisata “diberi tugas” untuk meningkatkan pariwisata dengan target 20 juta wisman di akhir masa pemerintahannya tahun 2019.
Dengan berbagai upaya dan insentif serta beberapa kendala a.l. bencana alam, maupun gangguan terorisme, arus wisman 2017 dan 2018 mencapai jumlah di bawah target.
Terakhir dgn adanya kegiatan Pemilu & Pilpres serentak bahkan berujung pada kerusuhan di Jakarta, bukan mustahil target 2019 sebanyak 20 juta wisman tidak akan tercapai. Bahkan Kemenpar pun harus menurunkan targetnya menjadi 18 juta setelah melalui review atas berbagai kondisi dan situasi tiga tahun terakhir.

Branding & Advertising saja tidak cukup.

Strategi BAS (Branding – Advertising – Selling), – terutama Branding & Advertising, dalam periode 2015 s/d 2018 dinilai cukup berhasil merangsang dan meningkatkan citra (image) Indonesia di dunia. Namun demikian, meningkatnya “citra” itu tidak atau belum diikuti dengan “derasnya arus” wisman sesuai harapan. Hal ini berarti Branding dan Advertising belum berhasil mendongkrak (leverage) pada Selling yang harusnya menghasilkan arus wisman. Continue reading